Sungai Brantas di Malang dan Batu Terkontaminasi Mikroplastik, Langkah Lanjutan?

Sungai-Brantas-di-Malang-dan-Batu-Terkontaminasi-Mikroplastik-Langkah-Lanjutan Sampah menggunung di tepian Kali Brantas di Malang. (Foto oleh: Eko Widianto / Mongabay Indonesia)

Source: Mongabay 
Date: 26 September 2020 

  • Para peneliti muda yang tergabung dalam Enviromental Green Society meneliti air Sungai Brantas di tiga titik: Bumiaji Kota Batu, Sengkaling Kabupaten Malang dan Klojen, Kota Malang. Hasilnya, kualitas Sungai Brantas buruk, air terkontaminasi mikroplastik.
  • Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menilai, Sungai Brantas darurat mikroplastik. Kalau tak segera ditangani bakal makin parah. Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton, menuntut pemerintah bertanggungjawab menangani pencemaran di Sungai Brantas.
  • UIN Sunan Ampel Surabaya juga meneliti masyarakat yang tinggal di DAS Brantas Kelurahan Muharto Kota Malang. Aneka jenis sampah menumpuk di sudut sungai. Terutama, kemasan plastik sekali pakai yang diproduksi produsen makanan, minuman, dan sampo.
  • Zaidatul Rizkia, peneliti mikroplastik dari UIN Sunan Ampel Surabaya, meneliti kalau mikroplastik telah beralih ke tubuh manusia melalui ikan yang dikonsumsi. Dia meneliti feses atau kotoran 20 penduduk yang bermukim di bantaran Sungai Surabaya pada 2019. Hasilnya, feses telah terkontaminasi mikroplastik.

Enam mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang, berkutat di Sungai Brantas. Mereka mengambil sampel air dan uji kualitas untuk mengetahui kondisi air di Kali Brantas ini. Air sungai ini jadi bahan baku air minum PDAM Surabaya.

Penelitian mereka di tiga titik, yakni, Bumiaji (Kota Batu), Sengkaling (Kabupaten Malang) dan Klojen (Kota Malang). Para peneliti muda yang tergabung dalam Enviromental Green Society ini menemukan kualitas Sungai Brantas buruk, air terkontaminasi mikroplastik.

Partikel mikroplastik berukuran lebih kecil dari lima milimeter. Air Brantas terkontaminasi mikroplastik jenis fiber, filamen dan fragmen.

Mikroplastik jenis fiber berasal dari serat pakaian, filamen dari pecahan plastik yang terdegradasi dan jenis fragmen dari potongan plastik polimer sintentis.

Di Bumiaji ditemukan 10 mikroplastik dalam per 100 liter air, di Sengkaling 19 mikroplastik per 100 liter air dan Klojen 15 mikroplastik per 100 liter air.

"Mikroplastik jenis fiber paling banyak mencemari Sungai Brantas," kata peneliti ekologi akuatik Enviromental Green Society Mohammad Alaika Rahmatullah.

Parameter kimia dan fisika yakni power of hydrogen (pH) atau tingkat keasaman dan total dissolved solids (TDS) atau jumlah padatan yang terlarut dalam air.

Di Bumiaji kadar pH 8,59 suhu 24,9 derajat celsius, dan TDS 272. Di Sengkaling pH 8,20, suhu 24,6 derajat celsius dan TDS 453. Dan Klojen pH 8,37, suhu 25,7 derajat celsius dan TDS 505.

Daerah pemukiman padat penduduk di tepian Sungai Brantas. Banyak sampah menumpuk di tepian Sungai Brantas (Foto oleh: Eko Widianto / Mongabay Indonesia)

Dia bilang, mikroplastik berbahaya bagi manusia, menyebabkan gangguan hormon, gangguan sistem syaraf bahkan meningkatkan risiko kanker. Biota sungai seperti ikan dan udang secara tak sengaja mengonsumsi mikroplastik dan berakhir jadi makanan manusia.

Para peneliti muda Enviromental Green Society ini tengah melakukan rapid assessment for microplastic contamination in Brantas River Ecosystem atau penilaian cepat terhadap kontaminasi mikroplastik di Sungai Brantas.

Penelitian ini diharapkan jadi rekomendasi pemangku kepentingan untuk menata dan mengelola lingkungan DAS Brantas. Mereka juga menemukan sejumlah titik sampah menggunung di bantaran Sungai Brantas.

Timbunan sampah ini memenuhi bantaran sungai, terutama di Kota Malang sepanjang DAS Brantas menjadi permukiman padat. Kebiasaan penduduk di bantaran sungai membuang sampah ke sungai. Sebagian sampah berupa plastik hingga saat terbawa arus terdegradasi dan jadi mikroplastik.

Raymond Valiant, Direktur Utama Jasa Tirta 1, mengapresiasi mahasiswa yang meneliti kualitas air DAS Brantas.

Walaupun, dia berhati-hati menyikapi hasil penelitian mahasiswa ini. Persoalan mikroplastik, katanya, tidak bisa disimpulkan hanya dengan contoh air dari beberapa titik untuk menggambarkan keseluruhan kualitas air.

"PJT I akan penelitian dengan melibatkan metode ilmiah yang teruji. Menggunakan tata cara pengambilan contoh yang representatif dan analisis yang sesuai panduan," katanya.

Mikroplastik, katanya, sebagian dapat diamati secara visual namun makin kecil ukuran, memerlukan metode lebih khusus untuk mengetahui jumlah dan kerapatan.

Penelitian mikroplastik, katanya, tidak semata-mata melihat kandungan di dalam air secara visual atau memakai kaca pembesar. Untuk penelitian visual perlu mikroskop dengan pembesaran setidaknya 100 kali dan terhadap mikroplastik berukuran kurang dari 200 mikron memerlukan instrumentasi dengan fourier transform infrared (FITR).

"Kami akan mengundang para mahasiswa untuk berdiskusi mengenai mikroplastik," katanya.

Meskipun begitu, dia mengakui kalau mikroplastik belum termasuk dalam parameter pemantauan kualitas air untuk baku mutu air sungai seperti dalam Peraturan Daerah Jatim Nomor 2 Tahun 2008.

Aksi mahasiswa mengingatkan agar peduli lingkungan dengan tak buang sampah sembarangan. (Foto oleh: Eko Widianto / Mongabay Indonesia)

Penghasil sampah plastik

UIN Sunan Ampel Surabaya juga meneliti masyarakat yang tinggal di DAS Brantas Kelurahan Muharto Kota Malang. Aneka jenis sampah menumpuk di sudut sungai. Terutama, kemasan plastik sekali pakai yang diproduksi produsen makanan, minuman, dan sampo.

Zaidatul Rizkia, peneliti mikroplastik dari UIN Sunan Ampel Surabaya, meneliti kalau mikroplastik telah beralih ke tubuh manusia melalui ikan yang dikonsumsi.

Dia meneliti feses atau kotoran 20 penduduk yang bermukim di bantaran Sungai Surabaya pada 2019. Hasilnya, feses telah terkontaminasi mikroplastik.

"Semua terkontaminasi," katanya.

Rizkia mengajak masyarakat turut berpartisipasi mengurangi penggunaan kemasan plastik sekali pakai. Produsen juga wajib tanggungjawab terhadap sampah produk mereka.

"Masyarakat harus turut bertanggungjawab memilah dan mengolah sampah dari rumah," katanya.

Produsen, katanya, harus mendidik konsumen dengan memberi label dan peringatan kalau kemasan plastik sekali pakai berbahaya bagi lingkungan. Produsen harus meredesain kemasan yang ramah lingkungan.

Produsen, katanya, bisa mengganti kemasan plastik sekali pakai dengan kemasan kertas yang mudah terdaurulang dan terurai. "Produsen makanan, minuman, dan sampo di Amerika telah mengganti plastik, beralih ke kemasan kertas sejak 2017," katanya.

Mereka juga mendesak pemerintah mengeluarkan peraturan untuk memberi fasilitas layanan sampah di bantaran sungai. Dengan begitu, katanya, sampah tak menumpuk. Selama ini, katanya, layanan fasilitas pengolahan dan penampungan sampah minim.

Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menilai, Sungai Brantas darurat mikroplastik. Kalau tak segera ditangani bakal makin parah.

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton, menuntut pemerintah bertanggungjawab menangani pencemaran di Sungai Brantas. Masing-masing institusi memiliki tanggungjawab sama, antara lain Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Perusahaan Umum Jasa Tirta 1, Pemerintah Jawa Timur dan 14 pemerintah Kkabupaten/ kota yang melintas Sungai Brantas. Juga Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas.

"Tak ada alasan ada pihak lepas tangan dari masalah ini," katanya.

Dia bilang, perlu bersinergi untuk pengelolaan sampah di Sungai Brantas. Mereka, katanya, harus saling berbagi peran sesuai kapasitas dan kewenangan.

Karakter pencemaran, katanya, berbeda antara kawasan hulu dan hilir. Daerah hulu di Batu, sumber pencemaran berasal dari pestisida tanaman sayuran. Di kawasan tengah dari limbah domestik rumah tangga. Untuk hilir, sumber pencemar dari industri.

Pemerintah, katanya, memiliki sejumlah regulasi namun perlu penegakan hukum, sanksi tegas bagi industri yang membuang limbah sembarangan. Tujuannya, memberi efek jera agar tak mencemari Sungai Brantas. Sedangkan produsen, kata Prigi, harus bertanggungjawab terhadap sampah mereka terlebih plastik.

"Jika rusak, pemulihan mahal. Membutuhkan dana besar. Harus segera ditangani, jangan sampai terlambat."

Dia mengambil contoh normalisasi Sungai Citarum perlu anggaran dana Rp400 miliar pada 2019. Dia juga sarankan, berbagai institusi harus proaktif sekaligus mengapresiasi pihak yang menjaga dan merawat Sungai Brantas.

"Sungai Brantas membutuhkan perhatian. Butuh sentuhan kasih sayang kita."

Ambil sampel air Sungai Brantas untuk uji kualitas. (Foto oleh: Eko Widianto / Mongabay Indonesia)

Bagaimana penanganan?

Kepala Seksi Kajian Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang, Tri Santoso mengatakan, sulit menangani sampah di permukiman padat di bantaran sungai. Dia beralasan, jalan sempit menyulitkan kendaraan pengangkut sampah masuk ke permukiman dan lokasi juga curam. "Sementara TPS (tempat pembuangan sampah-red) berada di atas," katanya.

Jadi, penduduk setempat enggan membuang sampah ke TPS dan memiliki membuang langsung ke sungai. Untuk itu, DLH Kota Malang mengajak masyarakat mengolah dan memilah sampah di rumah tangga.

Pemerintah Kota Malang menetapkan kebijakan strategi daerah dalam menangani sampai sampai 2025. Targetnya, pengurangan sampah di rumah tangga 30%, sedangkan penanganan sampah oleh pemerintah 70%.

"Saat ini, pengurangan sampah di rumah tangga baru 18,5%."

Sedangkan pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran. Untuk itu, katanya, perlu keterlibatan dan peran aktif masyarakat.

Berbagai usaha dilakukan antara lain menggerakkan bank sampah, dan kampung bersinar agar ada penanganan sampah dan adaptasi perubahan iklim di perkampungan penduduk.

Selain itu, diterapkan pendidikan lingkungan sejak dini dengan menyelenggarakan Adiwiyata di sekolah. Mereka dilatih memilah sampah, dan mengolah sampah. Harapannya, tumbuh kesadaran dan menularkan kepada teman, lingkungan dan keluarga.

Baru sebagian kecil wilayah yang mengolah sampah. Kelurahan Tlogomas, Lowokwaru, Kota Malang, jadi satu model permukiman di bantaran sungai yang mengolah sampah. Mereka memilah sampah plastik dan dikumpulkan di bank sampah.

Septi Ningsih, warga Tlogomas menyediakan lahan di belakang rumah untuk menampung sampah dari kelompok warga Tlogomas.

Rutin setiap pekan warga mengumpulkan sampah seperti kardus, kertas karton, botol bekas minuman, dan aneka perabot rumah tangga yang rusak. Ningsih juga ikut mengumpulkan sampah rumah tangganya. Uang hasil penjualan bisa mereka ambil menjelang Lebaran. "Setahun terkumpul Rp300.000."

Sedangkan sampah organik dan sampah yang tak bisa daur ulang diangkut ke TPS terdekat. Selain itu, mereka mengolah limbah cair rumah tangga dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal. Tlogomas pun dinilai berhasil menerapkan mitigasi perubahan iklim.


North Sumatra’s Kuala Tanjung seaport enjoys incre...
SDA DKI Siapkan Sistem Pengolah Air Limbah Terpusa...
 

Comments

Comments are not available for users without an account. Please login first to view these comments.

Providing you the latest news, insights, opportunities and events from the Indonesia water sector.

Indonesia Water Journal

Subscribe to our newsletter.